Oleh : Dhika Zakaria
Lia Widyawati Herlambang, begitulah nama panjang gadis berusia 18 tahun yang tengah berkuliah semester 2 ini. Ia mempunyai wajah cantik, berambut lurus sebahu dengan poni se-alis ala dora the explorer, berkulit putih dan anggun, dengan badan tinggi semampai ala Widy sang vokalis dari band vierra. Lia adalah seorang anak semata wayang dari sebuah keluarga yang dari segi ekonominya memang serba berkecukupan. Mungkin karena itulah ia selalu dimanjakan dan hampir semua keinginannya selalu dipenuhi oleh kedua orang tuanya sehingga ia menjadi anak yang manja, boros, malas, dan kegiatannya sehari-hari hanya dipenuhi dengan bermain, jalan-jalan, berbelanja, dan pokoknya ia hanya memikirkan bersenang-senang dengan teman-temannya, akibatnya dia sama sekali tidak fokus pada perkuliahannya.
Lia Widyawati Herlambang, begitulah nama panjang gadis berusia 18 tahun yang tengah berkuliah semester 2 ini. Ia mempunyai wajah cantik, berambut lurus sebahu dengan poni se-alis ala dora the explorer, berkulit putih dan anggun, dengan badan tinggi semampai ala Widy sang vokalis dari band vierra. Lia adalah seorang anak semata wayang dari sebuah keluarga yang dari segi ekonominya memang serba berkecukupan. Mungkin karena itulah ia selalu dimanjakan dan hampir semua keinginannya selalu dipenuhi oleh kedua orang tuanya sehingga ia menjadi anak yang manja, boros, malas, dan kegiatannya sehari-hari hanya dipenuhi dengan bermain, jalan-jalan, berbelanja, dan pokoknya ia hanya memikirkan bersenang-senang dengan teman-temannya, akibatnya dia sama sekali tidak fokus pada perkuliahannya.
Tere,
gadis keturunan Indo-Perancis ini mempunyai seorang kakak perempuan dan seorang
adik laki-laki. Mempunyai badan yang tidak jauh berbeda dengan Lia. Namun lebih
berisi atau lebih montok. Di antara teman-teman yang lain, Lia paling sering
berkomunikasi dengan Tere. Karena selera mereka dalam beberapa hal banyak yang
sama. Misalnya dalam hal musik, kedua gadis cantik ini sangat menyukai musik
blues, slow rock, dan musik yang kental dengan orkestra dan harmonie-harmonie
dari berbagai instrumen musik seperti sang maestro semi tuna rungu, bethoven.
Tapi Lia, Tere, Sylvia dan Uje apabila direlasikan, penyanyi yang mereka sukai
adalah Avril Lavigne. Penyanyi yang lagu-lagunya tak pernah absen dari playlist
mereka jika sedang berkumpul.
Sylvia,
gadis berkulit kuning langsat ini berasal dari tanah Kalimantan. Semenjak
berkuliah, ia tinggal bersama bibi dan pamannya. Sylvia mempunyai satu orang
kakak laki-laki yang sudah menikah. Lalu Uje, gadis yang bertubuh lumayan gemuk
ala Oky Lukman ini juga mempunyai kakak laki-laki yang sudah berkeluarga.
Selasa,
jam 6.30 pagi.
Seperti
biasa, Lia bangun dari tidur di saat semua penghuni rumah sudah tidak ada,
sudah berangkat untuk melakukan aktivitasnya masing-masing. Ayahnya sudah berangkat
sebelum fajar untuk bekerja di sebuah perusahaan yang ia pimpin karena hari itu
ia harus memimpin sebuah rapat direksi. Dan sering kali ke luar kota karena
urusan pekerjaannya tersebut. Ibunya juga adalah seorang wanita karir. Ia
mempunyai sebuah boutique dengan fokus fashion Paris. Selain dari itu, ia sama
seperti ibu-ibu rumah tangga perkotaan pada umumnya, setiap minggunya mengikuti
arisan dengan ibu-ibu yang sekompleks dan berolahraga di tempat gym supaya
tetap terlihat cantik di depan ibu-ibu arisan yang lain. Dan pagi itu, ibunya
sudah berangkat untuk melakukan rutinitas berolahraga di tempat gym yang biasa
ia datangi, bahkan ia sudah menjadi member selama 2 tahun di sana. Karena
kesibukan orang tuanya tersebut, maka tidak heran kalau pagi-pagi saat Lia
bangun tidur, sudah tidak ada orang di rumah kecuali pembantu rumah tangga yang
sudah mengabdi pada keluarga itu selama 10 tahun semenjak Lia duduk d kelas 3
sekolah dasar.
“Hmmmmmm... hoaaaaammmmmhhh....
bi... bibi.... !!” Suara Lia yang baru bangun tidur memanggil-manggil bi Iyem,
pembantunya. “Aduh Yem, mana handuk gue cepetaaaan!” sentak Lia kepada
pembantunya yang masih jauh berlari mendekatinya. “Iya Non!”. Iyem lalu membuka
pintu kamar Lia dan memberikan selembar handuk berwarna hijau polos kepada
majikannya yang tengah terduduk di tepi tempat tidur dengan mata yang masih
sayup itu. Lia pun bergegas membersihkan dan mempercantik diri. Cardigan
cokelat tipis dan jeans hitam serta sepatu kets berleher agak panjang menjadi
pilihan penampilannya pagi itu.
Menyiapkan sarapan sudah menjadi
kegiatan rutin bi Iyem setiap pagi di kediaman keluarga itu. Di tengah ruangan
itu, sebuah ruang makan berukuran 5×6 terdapat sebuah meja makan berbentuk
persegi panjang dengan permukaan kaca bening dan dikelilingi enam buah kursi
kayu warna cokelat. Di dua sisi meja itu, masing-masig berdiri dua pasang kursi
yang saling berhadapan dan berseberangan. Di dua sisi lainnya, berdiri
masing-masing satu kursi yang berseberangan dan saling berhadapan. Salah satu
kursi tersebut menjadi kursi singgasana ayahnya untuk bersantap di rumah.
Ibunya selalu menempati kursi di sisi meja di sebelah kanan sang ayah. Dan Lia,
sang tuan putri selalu duduk berhadapan di seberang sang ratu hingga posisi
duduk mereka membentuk seegitiga sama kaki. Pagi itu, kursi-kursi kebesaran
mereka kosong tak bertahta. Lia menuruni tangga yang meliuk yang menghubungkan
lantai dua di mana kamarnya berada dengan lantai dasar yang terdapat ruang tamu
dan ruang makan untuk sarapan. Di tengah tangga Ia sudah bisa melihat ke bawah,
terlihat meja makan persegi panjang itu tidak ada yang menjamahi. Hanya
terlihat piring-piring yang dihiasi dengan noda minyak dan ada sedikit nasi dan sayur yang tersisa.
“Bi.... itu piring-piring bekas mama papa ko belum diberesin sih?! Gue gak bisa
makan kalo tempatnya kotor dan berantakan kaya gitu!” Teriak Lia yang baru saja
menuruni tangga. Bi Iyem yang tengah berada di dapur itu pun segera menghampiri
majikannya dengan wajah tertunduk tak berani menatap gadis yang di dalam
pikirannya cantik nan galak itu. “I.. iya non, maaf. Bibi –...“. “Ah lo, kantin
di kampus gua aja bisa lebih bersih dari ini, gimana sih lo! Buruan beresin!”.
Sebelum bi Iyem menyelesaikan pembelaan dirinya, Lia langsung membentakinya
lagi. “Iya, Non. Sebentar bibi beresin dulu”. Iyem menjawab dengan wajah masih
tertunduk. “ Abis itu siapin sarapan gue ya!”. “Iya, Non”. Jawab Iyem lagi
sambil membereskan meja yang membuatnya dimarahi pagi itu.
And
my hair, will shine like the sea
And
everyone, will wanna look, just like me
Cause
I'm young, and I'm hip, and so beautiful
I'm
gonna be a supermodel
I'm
young,and I'm hip, so beautiful
I'm
gonna be a supermodel
Lagu
I wanna be a supermodel-nya Avril Lavigne mengalun dari tape mobil
Alphard warna merahnya yang tengah Ia kendarai menuju kampus itu.
Tiba-tiba Samsung Galaxy miliknya
berbunyi. Panggilan itupun diangkat. Sebelum ia membuka mulutnya, tiba-tiba
saja dengan nada yang sedikit menyentak, keluar suara dari ujung telepon sana
“Lia! Babydoll dodol! Di mana lo? Masih di rumah? Mandi belum? Mau bolos kuliah
lagi lu yah?!” Merasa terganggu dengan nada bicara orang yang menelepon itu,
Lia pun menjauhkan hp dari telinganya, memalingkan pandangan dari jalanan ke
layar hp yang sedang dipegangnya di tangan kanan sementara tangan kiri
mengendalikan stir mobil. “Gogirls Tere” itulah nama kontak yang ia lihat di
layar hp. Kembali ia mengalihkan pandangannya ke jalanan, mendekatkankan
kembali hp ke telinganya, lalu melanjutkan permbicaraan. “Anjrit lo ya..! Gue lagi di mobil nih, nyantai aja kali..
kaya baru kali ini aja gua telat..haha”. “Please deh Liaaa, pagi ini kan ada
ulangannya si Baskoro, dosen jadul yang bisanya cuma ceramah doang, dia kan
pelit banget ngasih nilai. Kalo lu telat, lu ga bisa nyontek. Kalo lu ga bisa
nyontek, nilai lu seratus koma sejuta persen pasti jelek. Lu kan ga pernah
belajar, dodol..” “Sialan lu! Hmm bookingin kursi aman buat gua dong, deket
kalian yah biar bisa callingan jawaban.. gue pasti dateng, mau tancep gas nih,
see you bebi muachh, daaaah”. Tanpa
memutuskan koneksi telepon, Lia sentak melemparkan hp ke kursi di sebelah
kirinya. Memegang stir dengan kedua
tangan, lalu menginjak gas mobil bergigi otomatis itu lebih dalam. Ia ngebut.
Mobil merah itu melaju dengan kecepatan tinggi, memecah jalanan beraspal dengan
warnanya yang terang. Warung-warung, toko-toko, rumah-rumah, gedung-gedung
tinggi terlihat hanya sepersekian detik saja oleh matanya. Muncul tiba-tiba di
depan di ujung jalan, sekejap menghilang di sudut matanya. Begitu juga dengan
beberapa mobil yang sempat ia salip. Pikirannya hanya tertuju pada gerbang
kampus, ruang kelas, kursi kosong di dekat teman-temannya, mengisi lembar
jawaban, dan melewati kuliah hari ini.
Jarum berwarna merah di speedometer
itu tak sempat menurun hingga ke titik kecepatan yang aman ketika akan melewati
sebuah tikungan. Panik, ban mobil itu melaju terlalu dekat dengan trotoar.
“Aaaaa! Aah! Awaas...!” Spontan ia berteriak-teriak dan menekan-nekan klakson
untuk memperingati seorang pedagang buah yang dilihatnya tengah berjalan di
sepanjang bahu jalan itu.
Mobil itu terhenti setelah
sebelumnya menyerempet pedagang buah dan tertahan oleh undakan yang merupakan
batas trotoar. Sepi, tak ada objek bergerak selain daun-daun yang bergoyang
tertiup angin dan lampu-lampu digital pada tape mobil yang masih melantunkan playlistnya. Perlahan gadis itu membuka
matanya. Tak apa-apa, tidak ada masalah. Begitulah
yang terbersit dalam pikiran gadis itu setelah berhasil menghidupkan mesin
mobil yang sempat mati. Namun tiba-tiba di antara suara erangan mesin mobil,
sayup terdengar suara erangan kesakitan seseorang dari arah belakang mobil itu.
Deggg! Seperti ada yang memukul dadanya dengan telak. Tubuhnya menegang. Dengan
sedikit keberanian, perlahan ia bergeser ke kursi sebelah kiri dan kedua bola
matanya tertuju pada spion kiri mobil. Degg! Telak, kembali terasa seperti
pukulan kedua tepat mengenai dadanya. Sesak. Perlahan keringat dingin mengucur
dari kening, leher dan punggungnya. Bagai anak kecil yang tak mau dihukum karena
memecahkan kaca jendela tetangganya, Ia sembunyi tangan dan lari. Dengan segera
Lia duduk ke tempat semula, memegang stir, memasukkan gigi, menginjak gas tanpa
mau lagi peduli, mengingat ataupun mengalami hal seperti tadi lagi.
Kampus,
Jam 8:15
Di depan pintu kelas, napasnya
terengah-engah. Sejenak ia menundukkan badan dengan kedua tangan bertumpu pada
kedua lutut kakinya hingga setengah berdiri. Perlahan, ia berdiri. Dipegangnya
gagang pintu itu, ia dorong perlahan. Sambil sedikit mengintip, perlahan daun
pintu kayu persegi panjang dengan warna cokelat kekuning-kuningan itu terbuka.
“Emm permisi Pak, selamat pagi. Maaf.... tadi... saya -.....” Dosen berkumis
tipis dengan rambut disisir rapi ala orang nomer satu di Indonesia ini langsung
memotong pembelaan diri Mahasiswanya yang terlambat itu. “Kalau mau masuk,
ketuk pintu dulu” kata dosen itu dengan nada datar dan masih fokus dengan buku
di tangannya. Teman-temannya memandang lirih. “Ehh... emmmm” Lia hanya
mengangguk sambil tersenyum kecut. Menahan kesal, gadis yang apes itu kembali
keluar dan menutup pintu. Di belakang pintu, dia menggerutu sendiri. Anjing! Monyet! Dosen geblek! Gedeg banget
gua sama tu dosen, sialan! Bagai sakura yang gugur tersundut hangatnya
solar mentari, kata-kata menyundut telinga itu meluncur deras dalam benaknya.
Sambil mengepalkan kedua telapak tangan dengan gemasnya ia bersiap memasang
kuda-kuda seperti hendak menggedor, menerobos pintu, lalu mendaratkan kepalan
tangan halusnya di muka sang Dosen. Namun masih terlalu jauh tindakan itu
baginya. Terlalu kurang ajar dan tidak bermoral bagi seorang Lia Widyawati
Herlambang untuk melakukan hal itu. Sabar, ia mengetuk pintu. 3 ketukan dalam 2
detik. Perlahan ia menarik tuas pintu itu kembali. Satu, dua bola matanya
menjelajah tiap sudut kelas. Semua mahasiswa tertegun serius mengerjakan soal
ulangan. Tapi Tere, Via dan Uje tertegun simpatik setiap kali Lia melihat ke
arah mereka karena tidak bisa berbuat apa-apa. Kali ini, ia menemukan pak
Baskoro sedang duduk di kursinya.
“Selamat
pagi Pak. Maaf saya terlambat, tadi ada masalah dengan mobil saya”
“Hmm
iya, iya. Anda boleh keluar...”
“mmm-maaf
Pak?”
“Bagian
mana dari kalimat saya yang tidak Anda mengerti?”
“Tapi
Pak......saya kan sudah mengetuk pintu seperti yang Bapak suruh”
“Tentu,
sudah sewajarnya saya mengajarkan etika itu kepada anak didik saya, atau
siapapun yang tidak tahu. Tapi, mengetuk pintu tidak akan mengembalikan waktu dan menggantikan
keterlambatan Anda.” Ujar baskoro sambil melihat jam tangannya mempertegas.
Hening. Teman-temannya hanya
tertunduk lirih, tidak terkecuali mahasiswa-mahasiswa yang lain. Konsentrasi
mereka mengerjakan soal sungguh tidak terjaga lagi. Namun kali ini sedikit
berbeda. Ada rasa lain yang tercampur setelah pukulan itu. Bukan hanya rasa
kaget, takut dan rasa bersalah. Tapi ada suatu rasa lain yang membuatnya ingin
membalikkan pukulan tersebut. Ada suatu dendam di sana. Memang sesuatu yang
kecil dan wajar. Tapi ia tidak menerima itu. Ia dipermalukan. Tensinya naik
dengan cepat. Mengingat kejadian yang dialaminya mulai dari rumah hingga tiba
di sini. Lia, ia tertunduk dan membuang muka ke arah tembok. Layaknya paskibra
amatiran, dengan cepat ia berbalik. Tas tangan warna merah batanya terayun
kencang seiring hentakan badannya. Dengan hati dan mata yang panas, ia
menelusuri koridor kampus tanpa menoleh sedikitpun ke belakang, ke pintu
cokelat kekuning-kuningan itu.
Sebuah APV silver terparkir di
samping sebuah escudo hitam hasil modifikasi dengan sasis rendah. Seorang
mahasiswa mengendap-endap di antara kedua mobil itu. Di antara lalu lalang para
penghuni kampus siang itu, ia terlihat sedang mengerjakan sesuatu. Seorang
gadis berambut sebahu dengan poni, Lia. Ia berjongkok di sana. Mencoba untuk
membuka tutup pentil salah satu mobil. Setelah ia memastikan bahwa ia telah
dengan rapi megempeskan dua ban belakang APV silver itu, buru-buru ia menjauh. Hahaha.. Cuh! Rasain lo! Lain kali gua
pecahin kaca mobil lo sekalian! Baskoro setan!. Benaknya puas.
Hari ini, solar mentari menyengat
aspal Jakarta. “Whooa Lia.. gila, haha temen kita ini udah gila! Hahaha” teriak
Sylvia heboh—setelah Lia menceritakan kejailannya di kampus tadi—yang disambut
senyum kecut Lia di sebelahnya yang sedang menyetir. “Iyah lo.. berani banget..
ga takut disambet jin peliharaannya si Baskoro nih anak” Sambut Tere yang duduk
di bangku belakang. “Ga akan mempan kali Ter.. yang ada jinnya naksir sama si
Lia noh haha” celetuk Uje yang duduk di sebelahnya. “Sialan lo! Hahaha”. Tawa
mereka pun meletus. “Eh gua gerah banget nih” ujar Sylvia. “Iya, Jakarta makin
panas aja” sambut Uje sambil mengelap peluh di dahinya. “Berenang aja yuk!”
ajak Lia yang disahut oleh teman-temannya hampir bersama-sama “Yuuu”.
Siang
itu, jam 13.20— kolam renang.
“Rumah
lu ko sepi sepi-sepi aja, jarang banget gua liat ortu lu.”
“Lagi
kerja..”
“Oh
iya yah. Eh, tapi kan gua sering juga male-malem maen ke sini.. Tetep jarang
gua ngeliat.”
“Sering
lembur..”
“Oh
jadi—....”
“Udah
deh Ter.. jangan ngomongin ortulah.. males gue.”
“Sorry...
tapi lu ma ortu lu baik-baik aja kan?”
“.....”
“Lia?”
“....”
“Hmmm
Lia, sesibuk apapun mereka. Gua yakin mereka tetep—...”
“Aaaaah
bullshit! Gua udah sering denger kata-kata itu Ter... ga ada orang tua yang ga
sayang anaknya.. tapi, ortu gue itu PENGECUALIAN! Percuma gue berbakti, percuma
gue... percuma gue idup! Karena gue yakin Ter.. gue yakin mereka sama sekali ga
ngarepin gue ada!” Matanya mulai panas, ada setitik air mengucur sampai
pipinya. “Dan GUE BENCI MEREKA!”
Lia
langsung berlari ke tepi kolam meninggalkan Tere, menyusul Sylvia dan Uje yang
sudah lebih dulu berada di dalam air. Namun, “Aaaah!” Dukk! Ia terpeleset tepat
di pinggir kolam dengan posisi terlentang dan kepalanya terbentur sangat keras
sesaat sebelum tubuhnya jatuh ke air lalu membisu. Sontak. “Liaa!” “Aaaaaah!”
Air kolam di sekitar tubuh Lia bercampur darah.
“Tiit
tit tiiiiiiiiiiit... !!”
“Tiit
tit tiiiiiiiiiiit... !!”
Jam
waker di kamar Lia berdering. Seperti biasa, jam berwarna merah muda dengan
bundaran dan jarum jam terdapat pada perut, berkepala kucing dengan goretan
wajahnya yang tersenyum, kaki lebar dan pendeknya untuk menopang, ekornya yang
agak panjang dan tegak lurus ke atas itu berdering. Memang jam itu sudah
sengaja distel otomatis untuk berdering setiap hari pukul 6.30 pagi.
Lia membuka mata. Dingin. Ada hawa
yang sangat dingin merasuk menusuk ke tubuhnya menyeluruh. Ia tidak merasa
seperti baru terbangun dari tidur semalam. Badannya terasa sangat ringan,
kepalanya tidak pusing. Beranjak dari tempat tidur. Ia melihat kalender yang
menujukkan hari sama, namun tanggal dan bulan yang berbeda. Selasa, 5 April. Berarti, aku sudah tertidur
selama satu minggu. Benaknya teringat kepada teman-temannya. Kejadian itu,
kolam, kemarahannya, lantai yang licin. Aku
sudah sembuh.Namun ada sesuatu yang terasa mengganjal sekali d hatinya. Apa ini. Kenapa. Aneh. “Bi... bibi..!”
Lia memanggil dengan suara agak lemah. Tidak
ada jawaban di sana. Ia pun keluar. Berharap menemukan seseorang yang
dapat diajak bicara. Menemukan penjelasan apa saja yang terjadi selama ia
tertidur. Ah kecewa. Setiap sudut rumah telah ia telusuri. Kosong. Kenapa di saat seperti ini.... Ia
membuka pintu depan rumahnya. Ah... sinar itu terasa begitu menusuk matanya.
Namun tetap ia merasa dingin. Walaupun terlalu menusuk, ada rasa yang
membuatnya untuk tetap berjalan keluar. Rasa yang kuat menemukan penjelasan.
Ia berjalan dan terus berjalan.
Banyak orang yang ia lihat di jalan. Namun tak ada yang mengacuhkan dirinya. Aku memang belum mandi... pikirnya.
Tiba-tiba sebuah senyum terukir bibirnya. Ia melihat dari kejauhan seorang anak
perempuan bersama ibunya. Ia begitu lucu, ceria, mengingatkannya sewaktu masih
kecil. Anak itu berlari-lari mengelilingi ibunya yang sedang berjalan. “Ah
awaas!!” Lia berteriak. “tiit tiiiiiiiiiiiiitt!!” Bukk! Anak kecil itu terjatuh
setelah sebelumnya tertabrak oleh sebuah sepeda motor. Pagi itu, ia menjadi
korban tabrak lari. Degg.. Lia terasa tersentil hatinya melihat kejadian itu.
Teringat peristiwa satu pekan yang lalu saat ia terburu-buru berangkat kuliah. Dĕ Javu menelanjangi ingatannya.
Seketika hatinya terasa sangat ciut. Bagaimana dirinya bisa setega itu. Hampir
saja menjadi seorang membunuh dan meninggalkan korbannya begitu saja. Ia
terenyak atas apa yang dilihatnya. Ia menyesal. Perasaannya makin tersayat
ketika melihat ibu sang anak itu menangis, menangis sejadi-jadinya. Luapan
kasih sayang terasa begitu kental terselip di antara setiap tangis dan setiap
tetes air mata yang dikeluarkannya. Ibu.....
Benaknya tertuju pada sebuah lukisan wajah, wajah seseorang yang melahirkannya
ke dunia. Betapa ia ingin melihat ibunya saat itu. Ibu, ibu dan ibu. Kuat
sekali. Ia sangat ingin menemui ibunya. Ingin memeluk, mengelap setiap
peluhnya, mengusap setiap air matanya, mengatakan bagaimana ia sangat kesepian
di rumah setiap harinya, mengatakan betapa ia menyesal pernah berkata bahwa ia
membencinya. Sungguh.
Ia mencoba lebih mendekat untuk
melihat anak itu. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia melihat, cahaya.
Bukan, itu bukan sinar matahari. Itu lebih jelas dan terang. Sinar itu
menyelubungi tubuh anak kecil itu yang sedang terlentang di samping ibunya. Ia
melihat ada sosok lain. Sosok si kecil. Apa
itu...?. Tapi, kenapa....?. Sosok itu berdiri di samping anak perempuan
yang bersimbah darah itu. Namun sosok itu sangat bersih, namun sosok itu begitu
tenang, namun sosok itu begitu mirip dengan si kecil. Itu... Anak itu...Kenapa ibunya tidak kaget? Kenapa anak kecil itu
menjadi dua? Butuh waktu beberapa saat untuk menggabungkan penglihatan
dengan rasionalnya. Itu.. Arwah.. Mengapa
hanya aku yang melihatnya? Mengapa? Apakah aku juga sudah.... Jadi aku tidak
terselamatkan? Perasaan janggal menjalari sekucur tubuhnya. Tiba-tiba anak
itu melihat ke arahnya, ia tersenyum. Lia hanya terpaku di sana. Anak kecil itu
berlari ke arahnya. Memegang tangannya. Mengajaknya, mengajaknya menghilang,
bersama-sama.
0 Response to "Aku Sudah Mati?"
Post a Comment